Mengapa Saya Meninggalkan Jabhatun Nushrah [SERI 2]

SERI 2: Takut Dilabeli Ekstrimis dan Menghapuskan Mahkamah Syari’at

Oleh Abu Sa’id Al-Brithani (Dari video “Pesan Seorang Mujahid”)

Sebagaimana telah saya jelaskan dalam artikel saya tentang “niat”, tujuan utama kita berjihad adalah untuk mengangkat Kalimat Allah yang paling tinggi. Kalimat Allah itu adalah syari’at. Jadi, jika ini tujuan kita, maka kita tidak mempunyai persoalan dengan hukum peradilan (mahkamah), siapa pun yang menegakkannya selama mereka melaksanakannya berdasarkan ajaran-ajaran islam (yaitu: yang murni berhukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah). Pegangan ini benar ketika banyak kelompok berperang dalam usaha untuk mengembalikannya.

Selama berada di Jabhah, saya ditempatkan di Atmah, sebuah kota kecil yang merupakan markas batalyon (katibah) saya dan juga tempat kamp latihan saya. Sebelum bergabung dengan kamp latihan, saya biasanya selalu berjalan melewati bangunan raksasa yang dicat hitam dan putih dengan kalimat syahadat (لا اله الا الله) ditulis dengan tulisan besar pada pintu gerbanya dan ayat mengenai dasar untuk berhukum dengan hukum Allah ditulis di sekita bangunan tersebut.

Sebuah bangunan yang berdiri tegak dengan mengagumkan membuatmu merasakan kehormatan kapan saja matamu menatapnya.

Dengan bertanya-tanya soal bangunan ini, saya diberitahu bahwa itu adalah mahkamah Daulah sebelum mereka diusir dari Idlib oleh FSA. Dan meskipun Daulah telah pergi, sisa-sisa tauhid masih berdiri tinggi di kota ini. Tidak ada yang melihatnya, tetapi ia bisa tegak dengan mengagumkan. Kehadirannya saja menimbulkan rasa takut dalam hati seseorang dan menambah keimanan seseorang serta menunjukkan kepadamu bahwa inilah tujuan kedatangan kita kesini, yaitu untuk menegakkannya.

Sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Quthb di dalam kitabnya Fī Zhilāl al-Qur`ān ketika menjelaskan Surat Al-Anfaal bahwa kita mengadakan jihad ialah dalam rangka untuk menyingkirkan thaghut dan menggantikannya dengan syari’at. Ini merupakan inti jihad. Hal ini tidak lengkap jika kita hanya menyingkirkan thaghut, namun sistem harus digantikan dengan syari’at.

Jadi, dengan senantiasa melihat bangunan ini mengingatkan saya pada tujuan dan alasan saya berjihad, yaitu untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi dan menghukumi manusia dengannya, bukan yang lain.

Setelah kamp latihan selesai (akhir Februari/awal Maret), saya berjalan menyelusuri gang kembali ke maqar (rumah aman) yang merupakan markas batalyon saya. Di saat saya berjalan di dekat mahkamah syari’at yang telah ditinggalkan Daulah, aku baru menyadari ternyata telah dihilangkan. Kalimat syahadat (لا اله الا الله) telah ditindih dengan cat lain, ayat-ayat Al-Qur’an telah dihapus, dan bangunan tersebut tidak lagi berfungsi.

Simbol tauhid dan buah jihad telah dimusnahkan dari kota ini. Ini membuatku sangat shock. Jadi, seperti diriku, ada seseorang yang selalu bertanya-tanya soal ini, dan aku diberitahu bahwa ia dihapus karena tidak lagi dipergunakan!

Jabhatun Nushrah memiliki mahkamah hukum entah di mana (yang tidak pernah kutemukan!) dan mereka memberi pilihan bagi penduduk Suriah, apakah mau berhukum dengan syari’at atau dibiarkan, yaitu berhukum menurut hukum-hukum sebelumnya di negeri ini.[1]

Demikian pula, hudud Allah tidak dilaksanakan. Mengapa? “Karena orang-orang telah hidup dalam jahiliyyah lebih 50 tahun, sehingga mereka bodoh akan syari’at, maka kita tidak dapat membebankan kepada mereka.”?!

Lalu, apa solusinya, wahai Amir Jabhatun Nushrah? “Kami harus mengajarkan manusia tentang agama terlebih dahulu.” Lalu, kapan kita akan mulai melakukannya, wahai Amir Jabhatun Nushrah? Tidak ada jawaban.[2]

Tidak ada dakwah kepada masyarakat umum dan sisa-sisa syari’at dihapuskan. Maka saya dan sejumlah ikhwan lainnya berbicara kepada amir kami yang kurang mempedulikan ide untuk memberikan dakwah (yang merupakan solusi atas permasalahan tersebut, menurut Jabhatun Nushrah sekalipun). Maka kami memutuskan untuk membicarakannya kepada Abu Sulaiman al-Mishri (amir di kota tersebut yang hampir tidak pernah terlihat!).

Lagi-lagi jawabannya dingin. Mereka berkata bahwa Daulah harus diberikan kepada manusia sebelum kami bisa memutuskan mereka berdasarkan syari’at. Padahal mereka kurang begitu tertarik untuk memberikan Daulah. Sungguh aneh. Prinsip-prinsip bid’ah dengan sikap yang tidak logis.

Dengan demikian, buah jihad Jabhatun Nushrah dan perjuangan tidak lebih dari sekedar melenyapkan thaghut dan membiarkan penduduk lokal hidup seperti domba, baik itu tidak menghukumi mereka dengan syari’at ataupun memberikan mereka ilmu yang bermanfaat atau didikan agama.

Syari’at Islam dan mahkamah hukum merupakan sesuatu yang dipandang oleh penduduk lokal sebagai hal yang ekstrim, sebuah penafsiran yang jauh sekali dari Al-Qur’an, dan tidak sesuati dengan dunia ‘modern’. Selama kita mengimani wujud Allah dan kita ‘Muslim’ serta shalat adalah sesuatu yang membuat seorang Muslim ‘sangat religius’. Ini merupakan keadaan di mana sang amir Jabhatun Nushrah ridha dengannya.

Biarkan mereka seperti itu, karena kita harus memenangkan hati manusia. Kita tidak seperti para ‘ekstrimis’ di Daulah yang memaksakan syari’at terhadap anda[3] dan kita akan memperbolehkan anda untuk hidup seperti domba yang bercerai-berai.

Ini bukanlah buah jihad ataupun sebuah kelompok yang memahami tujuan sebenarnya dari jihad itu.

Maka alasan kedua saya meninggalkannya adalah karena hal ini. Penghapusan mahkamah hukum Daulah tanpa berdasar selain karena takut untuk dilabeli ekstrimis dan membiarkan penduduk hidup berdasarkan keridhaan mereka (baca: hawa nafsu, penerj.), tanpa memberikan mereka pendidikan Islami yang bermanfaat melalui dakwah.[4]

Pada bagian ketiga, saya akan menjelaskan alasan ketiga mengapa saya meninggalkan Jabhatun Nushrah, dan hal ini sangat berhubungan dengan masalah ini, yaitu kurangnya mereka dalam memperhatikan syari’at sama sekali dan tidak melarang kemungkaran yang mereka lihat.

Abu Sa’id Al-Britani (Kik: shaykh.anwar)

Al-Bab, Syam.

29 Jumadil Ula / 20 Maret 2015

Leave a comment